Minggu, 29 Juni 2014

TUGAS 4 SOFTSKILL PKN - POLITIK

A.  PENGERTIAN POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL
1. Pengertian Strategi
Strategi berasal dari kata Yunani yaitu strategis yang artinya the art of the general. Antoine Henri Jomini (1779-1869) dan Karl Von Clausewitz secara ilmiah Jomini memberikan pengertian yang bersifat deskriptif. Ia katakan bahwa strategi adalah seni menyelenggarakan perang diatas peta dan meliputi seluruh wawasan operasi, sedangkan Clausewitz dengan tegas membedakan politik dan strategi. Dalam abad modern sekarang ini arti strategi tidak lagi terbatas pada konsep ataupun seni seorang pangliman di masa perang tetapi sudah berkembang den menjadi tanggung jawab seorang pemimpin. Strategi merupakan oleh karena penglihatan pengertian itu memerlukan intuisi. Seakan-akan orang harus merasa di mana ia sebaiknya menggunakan kekuatan yang tersedia. Disamping strategi merupakan seni, lambat laun ia juga merupakan ilmu pengetahuan. Lambat laun strategi yang tadinya hanya di gunakan dalam bidang militer, memperoleh perhatian pula dari bidang lain. Strategi pada dasarnya merupakan suatu rangkaian kerangka rencana dantindakan yang disusun dan disiapkan dalam suatu rangkaiyan pentahapan yang masing-masing merupakan jawaban yang optimal terhadap tantangan baru yang mungkin terjadi sebagai akibat dari langkah sebelumnya, dan kesluruhan proses ini terjadi dalam suatu arah tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Startegi nasional adalah seni dan ilmu mengembangkan dan menggunakan kekuatan nasional dalam masa damai maupun masa perang untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan politik nasional. Dalam rangka nasional, maka strategi nasional merupakan pelaksanaan dari kebijakan nasional, atau dengan kata lain, strategi adalah politik dalam pelaksanaan. Dengan demikian maka strategi nasional sebagai rencana dan pelaksanaan harus kenyal, dinamis, disesuaikan dengan kondisi, situasi dan kemampuan disamping nilai seni.

2. Pengertian Politik
Kata “Politik” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang akar katanya adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara dan teia, berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian asas, prinsip, keadaaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki.
Politik nasional diartikan sebagai kebijakan umum dan pengambilan kebijakan untuk mencapai suatu cita-cita dan tujuan nasional. Dengan demikian definisi politik nasional adalah asas, haluan, usaha serta kebijaksanaan negara tentang pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian) serta penggunaan kekuatan nasional untuk mencapai tujuan nasional. Sedangkan strategi nasional adalah cara melaksanakan politik nasional dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional.
1. Dalam arti kepentingan umum (politics)
Politik dalam arti kepentingan umum atau segala usaha untuk kepentingan umum, baik yang berada dibawah kekuasaan negara di Pusat maupun di Daerah, lazim disebut Politik (Politics) yang artinya adalah suatu rangkaian azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki disertai dengan jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai keadaan yang kita inginkan.
2. Dalam arti kebijaksanaan (Policy)
Politik adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang yang dianggap lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yang kita kehendaki. Dalam arti kebijaksanaan, titik beratnya adalah adanya :
a. Negara
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada.
b. Kekuasaan
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh, atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
c. Pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran dari proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di antara beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan selalu menghasilkan satu pilihan final Keluarannya bisa berupa suatu tindakan (aksi) atau suatu opini terhadap pilihan
d. Kepentingan umum
Suatu asas yang dilaksanakan berdasarkan atas kepentingan untuk orang banyak diatas kepentingan golongan ataupun pribadi, demi terciptanya persatuan dan persatuan.

Strategi nasional adalah cara melaksanakan politik nasional dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional. Strategi nasional disusun untuk melaksanakan politik nasional, misalnya strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

  1. STRATIFIKASI POLITIK NASIONAL NKRI
Stratifikasi politik nasional dalam negara Republik Indonesia adalah sebgai berikut
  1. Tingkat penentu kebijakan puncak
Meliputi kebijakan tertinggi yang menyeluruh secara nasional dan mencakup penentuan undang-undang dasar. Menitik beratkan pada masalah makro politik bangsa dan negara untuk merumuskan idaman nasional berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan tingkat puncak dilakukan oleh MPR. Dalam hal dan keadaan yang menyangkut kekuasaan kepala negara seperti tercantum pada pasal 10 sampai 15 UUD 1945, tingkat penentu kebijakan puncak termasuk kewenangan Presiden sebagai kepala negara. Bentuk hukum dari kebijakan nasional yang ditentukan oleh kepala negara dapat berupa dekrit, peraturan atau piagam kepala negara.
  1. Tingkat kebijakan umum
Merupakan tingkat kebijakan di bawah tingkat kebijakan puncak, yang lingkupnya menyeluruh nasional dan berisi mengenai masalah-masalah makro strategi guna mencapai idaman nasional dalam situasi dan kondisi tertentu.
  1. Tingkat penentu kebijakan khusus
Merupakan kebijakan terhadap suatu bidang utama pemerintah. Kebijakan ini adalah penjabaran kebijakan umum guna merumuskan strategi, administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang tersebut. Wewenang kebijakan tingkat di atasnya.
  1. Tingkat penentu kebijakan teknis
Kebijakan teknis meliputi kebijakan dalam satu sektor dari biang utama dalam bentuk prosedur serta teknik untuk mengimplementasikan rencana, program dan kegiatan.
  1. Tingkat penentu kebijakan di daerah
Wewenang penentuan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat di daerah terletak pada Gubernur dalam kedudukannnya sabagai wakil pemerintah pusat di daerahnya masing-masing. Kepala daerah berwenang mengeluarkan kebijakan pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD. Kebijakan tersebut berbentuk Peraturan Daerah (Perda) tinkat I atau II. Menurut kebijakan yang berlaku sekarang, jabatan Gubernur/Kepala Daerah tingkat I, Bupati/Kepala Daerah tingkat II atau Walikota/Kepala Daerah tingkat II.
  1. C.    POLITIK NASIONAL INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI
Tidaklah mudah memahami sejarah kontemporer, khususnya masa Orde Baru, apalagi melihatnya di tengah perkembangan politik di jamin Reformasi sebuah era yang muncul sebagai kritik dan kekecewaan terhadap kinerja Orde Baru. Kecenderungan untuk melihat hitam putih menjadi sulit dihindari. Banyak ahli yang dengan mudah turut terjebak kepada problematika teoritik maupun interes yang komplek, sehingga tidak bisa melihat sejarah politik Orde Baru dalam kacamata yang objektif. Mereka tidak kuasa mengambil jarak (withdrawl) dari arus besar yang berkembang pada era reformasi, dan kemudian melihatnya secara dikotomis, bahwa reformasi adalah “buku putih,” sedangkan Orde Baru adalah “buku hitam” dalam sejarah kepolitikan Indonesia.
Bahwa sejarah politik Orde Baru menghasilkan krisis memang tidak bisa dibantah, tetapi Orde Baru bukanlah sebuah fenomena politik yang monolitik, yang dijelaskan dengan menggunakan satu atau dua kata kunci saja. Orde Baru belakangan menanpilkan cirinya yang otoritarian. Namun sebenarnya Orde Baru juga tercatat memiliki komitmen menumbuhkan demokrasi terutama fase awal pertumbuhan Orde yang dipimpin oleh jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto ini. Oleh karena itu ada sejumlah komentator yang menyatakan bahwa Soeharto “take off” dengan benar, tetapi kemudian “landing” dengan cara keliru.

1.      Periodisasi Politik Orde Baru
Jadi politik Orde Baru adalah fenomena kompleks sehingga jauh dari monolitik. Dengan demikian ada manfaatnya melihat Orde Baru dengan melakukan pentahapan seperti di lakukan oleh Andreas Vickers seorang associate professor di Universitas Wollongong Australia. Vikers membagi sejarah Orde Baru dalam tiga babak yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu fase Honeymoon, Stalinist dan fase Keterbukaan.[3]
Vikers tidak memasukkan secara khusus periode krisis pemerintahan Orde Baru, terutama pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan rezim soeharto. Selayaknya masa krisis ini dicatat tersendiri, sehingga genapnya periodesiasi politik masa Orde Baru itu meliputi sebagai berikut
a.      Periode Honeymoon
Fase pertama, mengutip pendapat Umar Kayam, Vikers menyebut periode 1967-1974 sebagai fase Honeymoon. Pada periode ini sistem politik di negeri ini relative terbuka. Bangsa Indonesia bisa menikmati kebebasan pers. Militer tidak mendominasi banyak aspek pemerintahan. Sebaliknya, militer menjalin aliansi dengan mahasiswa, kelompok islam dan sejumlah tokoh politik pada masa soekarno. Soeharto menjalin hubungan erat sehingga menjadi jalinan triumvirate yang kuat dengan Adam malik yang dikenal sebagai tokoh politik kekirian ( Tan Malakaist) dan Hamengkubuwono IX (9) yang dikenal sebagai Soekarnois liberal.
Periode ini di akhiri dengan peristiwa Malari yang sertai dengan dimulainya tekanan atas kekuatan mahasiswa di satu pihak dan di lain pihak sebuah upaya Soeharto membangun kekuatan dari tekanan lawan politik di tubuh militer. Arus politik pada masa itu memunculkan tokoh popular, Ali Moertopo dengan para pengikutnya yang menyebar di hamper semua posisi politik dan birokrasi. Bersamaan dengan itu, arus politik membawa Indonesia untuk melakukan pengintegrasian Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia pada Tahun 1976.

b.      Periode Stalinist
Fase kedua adalah periode tahun 1974-1988/1989 yang disebut sebagai fase Stalinist. Pada fase ini otoritarianisme menjadi cirri yang mengedepankan dalam arena kepolitikan di Indonesia. Pemerintahan menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus, Menteri P dan K mengeluarkan SK 028/1978 dan Kopkamtib mengeluarkan Skep 02/Kopkam/1978 yang membekukan kegiatan Dewan Mahasiswa, menyusul kemudia dikeluarkan SK Menteri P dan KNo.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang disertai pula dengan perangkat BKK.[4]
Kebijakan normalisasi kehidupan kampus itu diterapkan dengan dalih agar mahasiswa menjadi man of analysis dan bukan moral force atau apalagi sebagaiman political force. Dalam praktik, kebijakan itu berhasil mendepolitisasi mahasiswa. Tidak ada gerakan mahasiswa pada periode ini, kecuali gerakan-gerakan yang lingkup dan isi perjuangannya bersifat lokal, seperti gerakan protes mahasiswa terhadap pembangunan Waduk kedugombo, penurun SPP, protes pemecatan Arief Budiman di Universitas Satyawancana, protes mahasiswa Ujungpadang atas kenaikan tarif angkot.[5]
Pada fase ini militer bergandengan erat dengan Birokrasi sehingga menjadi instrument politik penguasa Orde Baru yang sangat tangguh. Lawan-lawan politik Soeharto dimarginalisasikan. Pemerintahan memberlakukan indoktrinasi ideology pancasila dalam bahasa penguasa melalui penataran P4, pengasastunggalan organisasi politik, kemasyarakatan maupun keagamaan; pemberlakuan politik masa mengambang (floating mass) setelah penasehat politik soeharto, Ali Moertopo pertama kali berbicara tentang konsep tersebut.

c.       Periode keterbukaan
Periode ini berlangsung pada akhir 1980-an. Pada masa ini mulai muncul kekuatan yang selama itu berseberangan dengan kekuasaan. Di parlemen muncul “interupsi” dari salah seorang anggota fraksi ABRI (sekarang TNI dan POLRI). Ada yang bilang periode ini merupakan saat-saat orang mengucapkan “good-bye” untuk menjadi manusia “yes-men”, menunggu petunjuk Bapak presiden. Dalam dunia ekonomi pemerintah mengeluarkan sejumlah deregulasi, yang mempercepat arus massuknya modal asing. Investasi dunia perbankan menjadi dipermudah.
Bank tumbuh bukan hanya di kota tetapi sampai ke kecamatan-kecamatan. Dengan modal Rp 50 juta bisa membuat bank, Bank perkreditan Rakyat (BPR). Bersamaan dengan itu, perkembangan sejarah politik internasional ditandai dengan munculnya keterbukaan ( glasnost) dan reformasi (perestroika) yang digulirkan oleh presiden Uni soviet, Michael Gorbachove.

d.      Periode krisis
Puncak dari keterbukaan yang berlangsung di Indonesia adalah masa krisis. Dimulai dengan krisis moneter. Kurs Rupiah di mata dolar AS merosot tajam. Ibarat kapal, negeri ini sedang dihantam ombak besar. Sejumlah petinggi negeri ini mengatakan tidak ada masalah, karena fundamental ekonomi kita cukup kuat. Ternyata tidak demikian. Indonesia terus diterpa badai moneter, kurs rupiah benar-benar tidak terkendali, sampai lebih Rp 10 ribu per dolar AS. Krisis ini disertai dengan krisis sosial politik yang tak terkendali. Kelompok kritis, dosen-dosen senior perguruan tinggi negeri di Indonesia “turun gunung” dan gelombang demonstrasi mahasiswa pecah dimana-mana. Rezim soeharto benar-benar sedang di terpa badai, dan akhirnya menyerahkan Kekuasaan kepada BJ. Habibie pada tahun 1998. Sejak itu berakhirlah rezim soeharto, dan dimulailah era baru, era reformasi. Indonesia memulai lembaran baru dalam sejarah politik, dengan awal yang tidak mudah. Tertatih-tatih bangsa ini, mengatasi kerusuhan, pembakaran, perusakan, separatism, hingga penjambretan, penodong dan berbagai bentuk kriminalitas yang tak terkendali oleh aparat.

2.      Hubungan Lembaga-lembaga Politik Orde Baru
Rezim Orde Baru memiliki cara-cara tertentu untuk mempertahankan kekuasaan. Hampir tidak ada institusi politik di negeri ini yang tidak berada dalam kontrol presiden, terutama setelah Orde Baru memasuki periode Stalinist. Lembaga kepresidenan begitu kuat, menjadikan cabinet berada dalam posisi subordinatif, dan bahkan parlemen tidak berdaya menghadapi kekuasaan eksekutif, termasuk lembaga peradilan yang tidak bisa berdiri secara independen sehingga kesemuanya menjadi instrument kekuasaan rezim Orde Baru. Lebih terinci, bagaimana kelembagaan itu dikendalikan presiden dapat digambarkan sebagai berikut:

a)      Lembaga kepresidenan yang Dominan
Lembaga kepresidenan yang sebenarnya sebuah institusi yang kompleks, bukan hanya terdiri atas presiden saja, melainkan juga Wakil Presiden dan sejumlah aparat pemerintah, sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif seperti para menteri anggota kabinet.[6] Dengan demikian, sampai dengan 1998, tidak ada orang di Indonesia yang sangat kuat, selain Presiden Soeharto. Soeharto memperoleh legitimasi sejak awal Orde Baru, terutama disebabkan karena keberhasilannya dalam membangun ekonomi, meski kemudian sejalan dengan krisis ekonomi, krisis pula legitimasi dan otoritas soeharto.
Ramlan Subarki[7] menyebut ada 5 faktor yang menyebabkan Soeharto menjadi presiden yang powerful, yaitu karena faktor:
  • Faktor konstitusi
  • Faktor budaya
  • Faktor pribadi
  • Faktor politik
  • Faktor ekonomi
Ø  Pertama, konstitusi Indonesia, UUD 1945, menempatkan ekskutif begitu kuat. Sejumlah pasal dari 13 pasal dalam UUD 1945 berkaitan dengan kekuasaan yang membuat presiden menjadi powerful dan memegang kunci kekuasaan, baik kekuasaan eksekutif, legislatif, judicial, kebijakan luar negeri dan keamanan. Terbatas sekali prinsip check and balance dalam konstitusi di Indonesia.[8]
Ø  Kedua, faktor budaya turut menjadi lembaga kepresidenan sangat kuat. Dalam budaya atau tradisi jawa, presiden dipandang sebagai layaknya Raja. Dalam berbagai kesempatan perilaku presiden lebih menggambarkan praktik budaya monarki daripada seorang kepala Negara modern. Misalnya, presiden cenderung “memberi petunjuk” kepada organisasi sosial politik, dan bukan dalam rangka artikulasi kepentingan dan kebijakan. Presiden sama dengan sabda pendito Ratu. Presiden memberikan kesempatan organisasi semacam ini memilih pimpinan yang mereka inginkan sendiri.[9]
Ø  Ketiga, faktor otoritas pribadi pemangku jabatan  presiden. Seperti juga soekarno, soeharto menduduki jabatan presiden dalam masa bakti yang cukup lama karena keunikan kualifikasi dan sifat-sifat pribadinya. Kalau soekarno menjadi penguasa kuat, karena ia adalah “fouding father” proklamator kemerdekaan, pemersatu bangsa Indonesia, maka soeharto menjadi sangat kuat karena posisinya sebagai pendiri Orde Baru, pemberantas kekejaman PKI dan penyelamat bangsa, dan “Bapak Pembangunan.” Meski soekarno juga panglima tertinggi ABRI (kini TNI), namun soeharto jauh lebih powerful dan memiliki otoritas lebih di tubuh ABRI, karena ia adalah seorang jenderal yang memang pernah memimpin pasukan.
Ø  Keempat, faktor sistem politik Orde Baru yang bercorak Birokratik Otoritarian. Sistem ini menjadikan presiden bisa memegang kekuasaan penuh dalam bidang ekonomi maupun politik yang ada. Misalnya, presiden mengangkat sisa MPR yang tidak diisi DPR, bersidang setiap lima tahun sekali untuk memilih presiden dan menentukan GBHN sebanyak 100 kursi DPR disisikan bagi perwira tentara yang di angkat. Demikian pula presiden yang mengangkat sejumlah pimpinan departemen, badan dan lembaga seperti BPKP, DPA dan Mahkamah Agung.
Pengaruh presiden menyebar ke seluruh aspek kehidupan politik. Sistem pemilu, politik partai, sistem representasi kelompok kepentingan dan pemerintah daerah memberi peluang presiden dan pejabat senior untuk melakukan intervensi di semua sektor. Misalnya, praktik penelitian khusus (litsus) yang dilakukan oleh birokrasi sipil dan militer terhadap pejabat pusat dan daerah serta calon pemimpin partai menunjukkan derajat campur tangan langsung presiden terhadap berbagai institusi dan partai politik. Di tambah lagi institusi Bakorstanasda yang bisa mengendalikan berita macam apa dan siapa yang boleh berbicara kepada public.
Ø  Kelima, faktor ekonomi. Kinerja pemerintah Orde Baru dalam pembangunan ekonomi memberikan kesempatan rakyat meningkatkan kesejahteraan. Pemerintah Orde Baru berhasil menaikkan produksi beras, meningkatkan angka melek huruf, pelayanan kesehatan, pendidikan, transportasi dan komunikasi serta membuka kesempatan kerja di lapangan industry. Dengan diberi predikat sebagai “Bapak pembangunan” menunjukkan presiden diakui memiliki peran yang besar dalam mencapai prestasi pembangunan tersebut.


b)     Lembaga peradilan yang tidak independen
Lembaga peradilan di Indonesia selama Orde Baru, Menurut Subarki,[10]lebih berkaitan dengan persoalan pertumbuhan ekonomi, dilihat dari :
1)      Masalah yang sampai ke Mahkamah Agung banyak yang berkaitan dengan sengketa tanah dan penggunaan tanah untuk tujuan pembangunan.
2)      Naiknya pajak memungkinkan untuk menaikkan gaji pejabat peradilan (gaji hakim pernah dinaikan seratus persen).
3)      Pemerintahan mendirikan delapan PTUN lengkap dengan infrastruktur bangunan, hakim dan staf serta berbagai fasilitas di seluruh Indonesia.
Semua hakim agung, termasuk para deputi diangkat oleh presiden dari daftar calon yang diusulkan oleh DPR. Namun Mahkamah Agung tidak memiliki otoritas yang cukup untuk menentukan apakah kebijakan pemerintah dan tindakannya sesuai dengan konstitusi atau tidak. Sementara itu semua hakim di daerah maupun di pengadilan tinggi adalah pegawai negeri, yang diangkat, dipromosikan, digajikan dan diawasi oleh Departemen Kehakiman. Anggaran mereka ditentukan oleh Seketariat Negara. Dengan demikian peradilan di Indonesia, termasuk Mahkamah Agung disusun sebagai bagian dari pemerintah daripada sebagai lembaga peradilan. Di kalangan pemerintah berkembang pemahaman bahwa “ hukum harus dipakai dalam rangka pembangunan.” Sehingga tidak berpikir pentingnya sistem peradilan yang independen yang sebenarnya dibutuhkan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

3.      Hubungan Negara dan Masyarakat
Selama masa Orde Baru Negara sangat kuat. Tidak ada perubahan yang tidak di mulau dari Negara. Masyarakat tidak memiliki ruang partisipasi politik. Masyarakat dimobilisasi oleh Negara. Partisipasi bukan bermakna turut serta merencanakan, melaksanakan dan mengawasi kebijakan pembangunan. Partisipasi berubah makna menjadi turut serta member sumbangan dari proyek pemerintah yang dibiayanya kurang.
Negara menjadi sangat kuat di mata masyarakat karena Negara mengorganisasikan masyarakat yang memiliki beragam kepentingan secara korporatis. Dengan di organisasikan secara korporatis, masyarakat yang plural dapat menyalurkan kepentingan yang berbeda-beda melalui mekanisme yang tidak perlu menimbulkan konflik antar kelompok atau antar kelas. Perbedaan kepentingan kelompok dan kelas dapat diselesaikan melalui wakil-wakil mereka dalam organisasi korporatis. Dengan demikian korporatis adalah suatu usaha nyata untuk menekan konflik kelas atau kelompok kepentingan dengan baik tidak menggunakan kekerasan (coersif).[11]
Melalui pengorganisasi secara korporatis inilah Negara menaklukkan masyarakat sendiri. Negara dengan mudah memenuhi berbagai kepentingannya yang otonom, kepentingan eksklusif Negara yang tidak mencerminkan aspirasi dan tuntutan masyarakat. Sebagai implikasinya, maka masyarakat mengalami depolitasasi. Masyarakat yang tersingkir, tereksploitasi, tidak kuasa melawan tekanan-tekanan Negara. Masyarakat yang miskin seperti kaum buruh, petani, nelayan, pegawai rendahan dan yang tersisihkan lainnya tidak cukup memiliki kesadaran politik yang memadai untuk menghadapi intervensi Negara. Negaranisasi terjadi hingga sampai pedesaan tang terpencil sekalipun.[12]

4.      Praktik Negara hegemonik dan koersif
Negara pada masa Orde Baru menjadi sangat kuat, antara lain juga karena menerapkan cara-cara hegemoni dikombinasi dengan koersif. Hegemoni adalah cara menundukkan orang lain tidak menggunakan kekerasan, melainkan menggunakan cara-cara cultural seperti pengguna ideology, agama, nilai-nilai budaya tertentu sebagai alat kekuasaan.[13]
Dalam kerangka hegemony pemerintah Orde Baru menggunakan ideology pancasila sebagai instrument berkuasa. Pada tahun 1978 pemerintah menyusun penafsiran pancasila menjadi Eka Prastya Pancakarsa dan untuk kepentingan sosialisasi penafsiran itu diselenggarakan piñata P4 untuk seluruh lapisan rakyat Indonesia, baik pegawai negeri maupun masyarakat biasa. Tahun 1983 pemerintah juga melakukan penunggulan azaz bagi organisasi sosial kemasyarakatan, keagaman maupun politik.

5.     Peran Militer, Parpol dan dampaknya terhadap HAM
Rezim Orde Baru bisa dikatakan kemenangan militer, karena peranannya menjadi sangat besar. ABRI ( di kemudian hari berubah menjadi TNI ) mengitervensi politik sipil melalui doktrin dwifungsi. Dengan  doktrin ini militer memperoleh legitimasi untuk masuk ke ranah politik sipil. Antara lain dengan menempatkan tenaga militer yang aktif maunpun pensiunan di MPR, DPR, DPRD, eksekutif dan staf pemerintah pusat maupun daerah. Sejumlah lembaga Negara penting seperti Depdagri selalu dipegang ABRI. Pada tahun 1996 seperempat jabatan setingkat cabinet termasuk Menteri Agama dan jumlah besar eselon II dipegang oleh perwira yang masih dinas atau sudah pension. ABRI juga melakukan kontrol terhadap Golkar, mengawasi penduduk melalui komando territorial.[14]
Dalam konteks ini, sejalan dengan semakin tinggi tingkat kesadaran politik masyarakat, sehubungan dengan meluasnya masyarakat yang terdidik, maka semakin menyebar kekuatan kritis di masyarakat. Namun semakin kritis masyarakat, ternyata militer cenderung semakin represif. Semakin represif militer, maka semakin banyak pelanggaran HAM dan semakin sering muncul yang disebut dengan the state violencesejak dari kasus Tanjung Priok, Lampung Haor Koneng dan beberapa kasus lainnya. Kasus pelanggaran HAM yang cukup menggempar dan membuat posisi militer semakin tersudut adalah kasus penyiksaan tokoh buruh wanita, Marsinah, di jawa Timur tahun 1993. Para majikan Marsinah di tangkap, tetapi perwira di komando militer setempat.[15]

6.      Kebijakan Politik Aliran
Kemenangan Orde Baru, ada yang menafsirkan sebagai kemenangan “orang jawa” karena Orde Baru didominasi militer yang memerintah sejak 1966 secara prinsip tidak dekat dengan Islam. Banyak elit Orde Baru dibesarkan dalam lingkungan Hindu-jawa sehingga menjadikan mereka lebih kuat dari yang lain. Sikap permusuhan elit penguasa Islam telah mendorong pemerintah untuk melarang kembalinya masyumi tahun 1966, termasuk memangkas partai Islam dan menfusikannya kedalam PPP pada tahun 1973. Elit Orde Baru lebih cenderung berkoalisi dengan orang-orang Cina Katolik, sosial bekas anggota PSI dan sejumlah perwira militer anti Islam sengan Ali murtopo pendiri CSIS sebagai otak di belakang semua kebijakan Orde Baru. Pada SU-MPR 1973, ia “menampak umat islam” dengan mengusulkan aliran kepercayaan berstatus sebagai Agama.[16]
NB; (Perspektif Islam politik memandang hubungan Islam dan politik sebagai bersifat organic. Masalah politik, hukum maupun ekonomi diimajinasikan sebagai terkait secara structural dari sistem religious Islam yang dipahami secara skriptualistik, legistik dan formalistic. Lihat Bahtiar Efendy,Islam dan Negara : tranformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 48-58)

ERA REFORMASI

Ø  Pemerintahan Habibie : Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Ø  Pemerintahan Wahid : Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni1999PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000. Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di AcehMaluku, danPapua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Ø  Pemerintahan Megawati : Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet gotong royong.
Ø  Pemerintahan Yudhoyono ; Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.

Pergeseran Politik Era Reformasi

Memasuki 1998, bangsa Indonesia kemudia berhasil melakukan reformasi, melengserkan rezim monolitik. Negara lalu bukan saja mengalami delegitimasi, tetapi juga demoralisasi dimata masyarakat. Sejak itu posisi burgaining masyarakat meningkat, sehingga suara mereka jauh lebih ber “daya” sekurang-kurangnya disbanding dengan era sebelumnya. Bangsa Indonesia lalu memulai era baru dengan semagat membangun sistem yang demokratis. Era ini Nampak lebih menjanjikan ruang partisipasi bagi semua elemen masyarakat dalam berbagai kehidupan ekonomi, sosial maupun politik.

  1. D.    MANAJEMEN NASIONAL INDONESIA
SISTEM
Sistem adalah suatu totalitas yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan (Inter-Relasi), saling keterpaduan (Inter-Aksi), saling bergantungan (Inter-Depedensi), untuk mencapai tujuan bersama tentunya.
Jadi pada dasarnya suatu system memenuhi prinsip-prinsip totalitas (Holistik), keterpaduan (Integralistik), dari elemen-elemen yang mempunyai fungsi masing-masing untuk mencapai tujuan bersama (Gestalt) tertentu.
MANAJEMEN
Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.
NASIONAL
Seluruh kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara (kehidupan
nasional)
CIRI-CIRI SISTEM MANAJEMEN NASIONAL
1. Keseluruhan (holistik)
2. Keterpaduan (integralistik)
3. Berdasarkan Pancasila
4. Berdasarkan Wawasan Nusantara 5. Berorientasi Ketahanan Nasional 6. Strategik.
STRUKTUR SISMENNAS
1. Tatanan Kehidupan Masyarakat (TKM)
2. Tata Politik Nasional (TPN)
3. Tata Administrasi Negara (TAN) dan Tata Laksana Pemerintah (TLP)
Inti SISMENNAS adalah Tatanan Pengambilan Keputusan Berkewenangan (TPKB) yang terselenggara pada tahap-tahap Tata Administrasi Negara (TAN) dan Tata Laksana Pemerintah (TLP) yang disebut “tatanan dalam”. Untuk pengambilan keputusan tersebut diperlukan masukan dari Tatanan Kehidupan Masyarakat (TKM) dan Tata Politik Nasional (TPN) yang disebut “tatanan luar” . Keluaran dari TPKB bermuara kembali pada system luar yakni TPN dan TKM.
FUNGSI-FUNGSISISTEM MANAJEMEN NASIONAL
Sistem manajemen nasional pada Tatanan Kehidupan Masyarakat (TKM) dan Tatanan Politik Nasional (TPN). Berfungsi untuk pengenalan kepentingan rakyat serta pemilihan kepemimpinan. Pada inti sistem manajemen nasional terdapat Tatanan Pengambilan Keputusan Berkewenangan yang merupakan fungsi-fungsi manajerial, yang mentransformasikan kepentingan masyarakat maupun kepentingan politik kedalam bentuk-bentuk keputusan administrasi berupa kepentingan umum, untuk memudahkan pelaksanaanya serta untuk meningkatkan daya-guna (efisiensi), hasil guna (efektif) dan kehematannya.
Fungsi Sistem Manajemen Nasional
Fungsi di sini dikaitkan dengan pengaruh, efek atau akibat dari terselenggaranya kegiatan terpadu sebuah organisasi atau sistem dalam rangka pembenahan (adaptasi) dan penyesuaian (adjustment) dengan tata lingkungannya untuk memelihara kelangsungan hidup dan mencapai tujuan-tujuannya. Dalam proses melaraskan diri serta pengaruh-mempengaruhi dengan lingkungan itu, sistem manajemen nasional memiliki fungsi pokok: “pemasyarakatan politik.” Hal ini berarti bahwa segenap usaha dan kegiatan Sistem manajemen nasional diarahkan pada penjaminan hak dan penertiban kewajiban rakyat. Hak rakyat pada pokoknya adalah terpenuhinya berbagai kepentingan. Sedangkan kewajiban rakyat pada pokoknya adalah keikutsertaan dan tanggung jawab atas terbentuknya situasi dan kondisi kewarganegaraan yang baik, di mana setiap warga negara Indonesia terdorong untuk setia kepada negara dan taat kepada falsafah serta peraturan dan perundangannya.
Fungsi-fungsi tersebut adalah:
1) Perencanaan sebagai rintisan dan persiapan sebelum pelaksanaan, sesuai kebijaksanaan yang dirumuskan.
2) Pengendalian sebagai pengarahan, bimbingan, dan koordinasi selama pelaksanaan.
3) Penilaian untuk membandingkan hasil pelaksanaan dengan keinginan setelah pelaksanaan selesai.
DINAMISASI Sistem Manajemen Nasional
Dengan pendekatan kesisteman terhadap Sistem Manajemen Nasional yang diuraikan disini, kiranya kita dapat melihat aspek-aspek, unsure-unsur dan proses-proses yang masih perlu kita kembangkan dan mantapkan, agar seluruh unsure atau sub-sistem merupakan kesatuan yang terpadu untuk menuju pada perwujudan cita-cita Nasional.
Sistem manajemen Nasional yang diuraikan di atas adalah suatu system untuk mencapai keterpaduan upaya pola pikir, structural, fungsional dan procedural, pemetaan dan pemecahan masalah, dalam wahana atau wadah organisasi, proses sebelum, selama dan sesudah, Dalam konteks keterpaduan sebagai suatu system dari seluruh tatanan struktur Sistem manajemen Nasional.
Pada aspek arus keluar, Sistem manajemen nasional diharapkan menghasilkan:
Aturan, norma, patokan, pedoman, dan Iain-lain, yang secara singkat dapat disebut kebijaksanaan umum (public policies).
Penyelenggaraan, penerapan, penegakan, maupun pelaksanaan berbagai kebijaksanaan nasional yang lazimnya dijabarkan dalam sejumlah program dan kegiatan.
Penyelesaian segala macam perselisihan, pelanggaran, dan penyelewengan yang timbul sehubungan dengan kebijaksanaan umum serta program tersebut dalam rangka pemeliharaan tertib hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar